Selasa, 14 Agustus 2012


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perbankan baik itu perbankan konvensional ataupun syariah dalam operasionalnya meliputi 3 aspek pokok, yaitu penghimpunan dana (funding), pembiayaan (financing) dan jasa (service). Menurut Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bank umum syariah dalam usaha untuk menghimpun dana dapat melakukan usaha dalam bentuk simpanan berupa tabungan, giro atau bentuk lainnya baik berdasarkan akad wadi’ah, mudharabah atau akad lainnya yang tidak bertentangan. Sedangkan dari sisi pembiayaan, perbankan syariah dapat menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istishna, qardh, atau akad lain yang sesuai dengan syariah. Sedangkan kegiatan jasa yang dapat dilakukan oleh bank umum syariah berdasarkan Undang-Undang tersebut diantaranya berupa akad hiwalah, kafalah, ijarah, dan lain-lain. Dalam makalah ini penulis akan menjelaskan tentang mudharabah serta macam-macamnya.

Mudharabah merupakan ciri khas dari ekonomi syariah, yang lebih mengedepankan hubungan kerja sama diantara dua atau lebih pihak. Konsep mudharabah bukan merupakan turunan dari konsep di ekonomi konvensional. Ini berbeda dengan produk pada perbankan syariah lainnya yang sebagian besar merupakan turunan dari produk bank konvesional ditambah dengan pendekatan akad atau konsep syariah.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan yang di maksud dengan mudharabah dan macam-macamnya?
2. Bagaimana konsep mudharabah dalam aplikasi perbankan syari’ah?
C. Tujuan 
Penulis mengambil judul makalah ini agar penulis khususnya dan pembaca umumnya dapat lebih mengetahui tentang pembiayaan mudharabah dan paham bagaimana aplikasinya dalam perbankan syari’ah.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mudharabah
Menurut bahasa, kata mudharabah berasal dari adh-dharbu fil ardhi, yaitu melakukan perjalanan untuk berniaga. 
Allah swt berfirman: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (QS Al-Muzzammil : 20). 

Mudharabah disebut juga qiradh, berasal dari kata qardh yang berarti qath (sepotong), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya. 

Menurut istilah fiqh, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati (Fiqhus Sunnah III: 212).

B. Mudharabah Menurut Literatur Fiqh
Definisi Mudharabah 
  • Dalam fikih mu’amalah Mudharabah dinamakan juga dengan Qiradh, yaitu bentuk kerja sama antara pemilik modal (shohibul mal/rabbul mal) dengan pengelola (mudharib) untuk melakukan usaha dimana keuntungan dari usaha tersebut dibagi diantara kedua pihak tersebut, dengan rukun dan syarat tertentu.
  • Mudharabah menurut bahasa diambil dari bahasa arab yaitu dharb, maksudnya Adharbu fil ardhi yaitu bepergian untuk berurusan dagang, sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al Mujammil ayat 20:“ Dan yang lainnya bepergian dimuka bumi mencari karunia dari Allah”. ( QS. 73: 20 )
  • Menurut pandangan ulama ahli fiqih (fuqaha) Mudharabah adalah akad antara kedua belah pihak untuk salah seorangnya mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lainnya untuk diperdagangkan dan laba dibagi sesuai dengan kesepakatan.
  • Ulama madzhab Syafi’i Mudharabah adalah sebagai berikut :“ Mudharabah adalah akad ( transaksi ) antara dua orang atau lebih, diantara yang satu menyerahkan harta atau modal kepada pihak kedua untuk dijalankan usaha, dan masing-masing mendapatkan keuntungan dengan syarat-syarat tertentu “.
  • Menurut Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa mudharabah adalah akad perwalian, dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (emas dan perak).
  • Menurut M. Syafi’i Antonio, mudharabah adalah akad kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lain (mudharib) menjadi pengelola, dimana keuntungan usaha dibagi dalam bentuk prosentase (nisbah) sesuai kesepakatan, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola, apabila kerugian itu diakibatkan oleh kelalaian si pengelola maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

C. Hukum Mudharabah dan Dasar Hukumnya.
Secara eksplisit dalam al-Qur‟an tidak dijelaskan langsung mengenai hukum mudharabah, meskipun ia menggunakan akar kata dl-r-b yang darinya kata mudharabah diambil sebanyak lima puluh delapan kali, namun ayat-ayat Qur’an tersebut memiliki kaitan dengan mudharabah, meski diakui sebagai kaitan yang jauh, menunjukkan arti “perjalanan” atau “perjalanan untuk tujuan dagang”5.

Dalam Islam akad mudharabah dibolehkan, karena bertujuan untuk
saling membantu antara rab al-mal (investor) dengan pengelola dagang (mudharib). Demikian dikatakan oleh Ibn Rusyd (w.595/1198) dari madzhab Maliki bahwa kebolehan akad mudharabah merupakan suatu kelonggaran yang khusus. Meskipun mudharabah tidak secara langsung disebutkan oleh al-Qur‟an atau Sunnah, ia adalah sebuah kebiasaan yang diakui dan dipraktikkan oleh umat Islam, dan bentuk dagang semacam ini tampaknya terus hidup sepanjang periode awal era Islam sebagai tulang punggung perdagangan karavan dan perdagangan jarak jauh.

a. Al-Qur’an
Dasar hukum yang biasa digunakan oleh para Fuqaha tentang kebolehan bentuk kerjasama ini adalah firman Allah dalam Surah al-
Muzzammil ayat 20 :
...وَآَخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّه
Artinya : “....dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari karunia Allah....”.

(Al-muzammil : 20)
Artinya : “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil
perdagangan) dari Tuhanmu....”. (al-Baqarah : 198).

Kedua ayat tersebut di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah SWT di muka bumi. 

b. As-sunnah
Di antara hadis yang di berkaitan dengan mudharabah adalah hadis yang di riwayatkan olehIbn majah dari Shuhaib bahwa nabi SAW. Bersabda, yang artinya:
“ tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual beli yang di tangguhkan, melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain), dan yang mencampurkan gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk diperjualbelikan.”
(HR.Ibn Majah dari Shuhaib)

c. Ijma
Di antara ijma’ dalam mudharabah, adanya riwayat menyatakan bahwa jamaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan tersebut tidak di tentang oleh yang lainnya.
d. Qiyas
Mudharabah di qiyaskan kepada al-musyaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun). Selain di antara manusia, ada yang miskin dan ada pula yang kaya. Di satu sisi, banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hatanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang yang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian dengan adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golonngan di atas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.

D. Rukun dan Syarat Mudharabah
Menurut Jumhur Ulama berpendapat bah wa rukun mudharabah, sebagaimana juga jenis pengelolaan usaha lainnya, memiliki tiga rukun,yaitu:
1. Adanya dua pelaku atau lebih, yaitu shahibul maal (pemilik modal) dan mudharib (pengelola).
2. Objek transaksi kerjasama, yaitu modal, usaha dan keuntungan.
3. Pelafalan perjanjian (shighat). Shighat adalah, ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighat ini terdiri dari ijab qabul.

SYARAT MUDHARABAH
1. ADANYA DUA PELAKU ATAU LEBIH.
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Pada rukun pertama ini, keduanya disyaratkan memiliki kompetensi (jaiz al-tasharruf), dalam pengertian, mereka berdua baligh, berakal, rasyid (normal) dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya. Sebagian ulama mensyaratkan, keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim. Sebab, seorang muslim tidak dikhawatirkan melakukan perbuatan riba atau perkara haram. Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya, dengan syarat harus terbukti adanya pemantauan terhadap pengelolaan modal dari pihak muslim, sehingga terbebas dari praktek riba dan haram.

2. MODAL
Ada empat syarat modal yang harus dipenuhi.
a) Modal harus berupa alat tukar atau satuan mata uang (al-naqd).
b) Modal yang diserahkan harus jelas diketahui Modal diserahkan harus tertentu.
c) Modal diserahkan kepada pihak pengelola, dan pengelola menerimanya langsung, dan dapat beraktivitas dengannya.

Jadi dalam mudharabah, modal yang diserahkan, disyaratkan harus diketahui. Dan penyerahan jumlah modal kepada mudharib (pengelola modal) harus berupa alat tukar, seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang, kecuali bila nilai tersebut dihitung berdasarkan nilai mata uang ketika terjadi akan (transaksi), sehingga nilai barang tersebut menjadi modal mudharabah.
Contohnya, seorang memiliki sebuah mobil yang akan diserhak kepada mudharib (pengelola modal). Ketika akad kerja sama tersebut disepakati, maka mobil tersebut wajib ditentukan nilai mata uang saat itu, misalnya disepakati Rp.80.000.000, maka modal mudharabah tersebut adalah Rp.80.000.000.

Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat, karena untuk menentukan pembagian keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya, seiring berjalannya waktu, sehingga dapat menimbulkan ketidak jelasan dalam pembagian keuntungan.

3. JENIS USAHA
Jenis usaha disini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.
 Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan.
 Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya. Misalnya, harus berdagang permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya.
 Asal dari usaha dalam mudharabah adalah di bidang perniagaan dan yang terkait dengannya, serta tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan barang-barang haram, seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya.

4. KEUNTUNGAN
Setiap usaha yang dilakukan adalah untuk mendapatkan keuntungan. Demikian juga dengan mudharabah. Namun dalam mudharabah pendapatan keuntungan itu disyaratkan dengan empat syarat.
a) Keuntungan, khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama, yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal. 

b) Pembagian keuntungan untuk berdua, tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan : “Saya bekerja sama mudharabah denganmu, dengan keuntungan sepenuhnya untukmu”, maka yang demikian ini menurut madzhab Syafi’i tidak sah.

c) Keuntungan harus diketahui secara jelas.

d) Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi sebagaimana telah ditentukan prosentasenya, seperti : setengah, sepertiga atau seperempat. Apabila ditentukan nilainya, contohnya jika dikatakan, “Kita bekerja sama mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta, dan sisanya untukku”, maka akad mudharabah demikian ini tidak sah. Demikian juga bila tidak jelas prosentasenya, seperti “Sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku”.
Adapun Dalam Pembagian Keuntungan Perlu Sekali Melihat Hal-Hal Berikut.

- Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung pemilik modal. Ibnu Qudamah di dalam Syrahul Kabir menyatakan, keuntungan sesuai dengan kesepakatan berdua. Lalu dijelaskan dengan pernyataan, maksudnya, dalam seluruh jenis sayrikah. Hal itu tidak terdapat perselisihan dalam mudharabah murni. Ibnu Mundzir menyatakan, para ulama bersepakat, bahwa pengelola berhak memberikan syarat atas pemilik modal 1/3 keuntungan atau ½, atau sesuai kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui dengan jelas dalam bentuk prosentase.

- Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungannya. Apabila keduanya tidak menentukan hal tersebut, maka pengelola mendapatkan gaji yang umum, dan seluruh keuntungan merupakan milik pemilik modal (investor).
- Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum menyerahkan kembali modal secara sempurna. Berarti, tidak seorangpun berhak mengambil bagian keuntungan sampai modal diserahkan kepada pemilik modal. Apabila ada kerugian dan keuntungan, maka kerugian ditutupi dari keuntungan tersebut, baik kerugian dan keuntungan dalam satu kali, atau kerugian dalam satu perniagaan dan keuntungan dari perniagaan yang lainnya. Atau yang satu dalam satu perjalnan niaga, dan yang lainnya dari perjalanan lain. Karena makna keuntungan adalah, kelebihan dari modal. Dan yang tidak ada kelebihannya, maka bukan keuntungan. Kami tidak tahu ada perselisihan dalam hal ini.

e) Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan, kecuali apabila kedua pihak saling ridha dan sepakat.
Ibnu Qudamah menyatakan, jika dalam mudharabah tampak adanya keuntungan, maka pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun darinya tanpa izin pemilik modal. Dalam masalah ini, kami tidak menemukan adanya perbedaan di antara para ulama.
Tidak Dapat Melakukannya Karena Tiga Hal:
I. Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan tidak adanya kerugian yang dapat ditutupi dengan keuntungan tersebut, sehingga berakhir hal itu tidak menjadi keuntungan.
II. Pemilik modal adalah mitra usaha pengelola sehingga ia tidak memiliki hak membagi keuntungan tersebut untuk dirinya.
III. Kepemilikannya atas hal itu tidak tetap karena mungkin sekali keluar dari tangannya untuk menutupi kerugian.

Namun apabila pemilik modal mengizinkan untuk mengambil sebagiannya, maka diperbolehkan karena hak tersebut milik mereka berdua.

f) Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum dilakukan perhitungan akhir atas usaha tersebut.
Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap keuntungan yang dibagikan bersifat tidak tetap, sebelum berakhirnya pernjanjian dan sebelum seluruh usaha bersama tersebut dihitung. Adapun sebelum itu, keuntungan yang dibagikan itupun masih bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi kerugian yang bisa saja terjadi di kemudian, sebelum dilakukan perhitungan akhir.
Perhitungan Akhir Untuk Menetapkan Hak Kepemilikan Keuntungan, Aplikasinya Bisa Dua Macam.
 Perhitungannya di akhir usaha. Dengan cara ini, pemilik modal bisa menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua belah pihak.
 Finish Cleansing terhadap kalkulasi keuntungan.Yakni dengan cara asset yang dimilikinya dituangkan terlebih dahulu, lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif. Apabila pemilik modal mau, maka dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali, berarti harus dilakukan perjanjian usha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu.


E. Jenis-Jenis Mudharabah
1. Mudharabah Muthlaqah (General Investment)
a) Shahibul maal tidak memberikan batasan-batasan (restriction) atas dana yang di investasikannya. Mudharib di beri wewenang penuh mengelola dana tersebut tanpa terikat waktu, tempat, jenis usaha dan jenis pelayanannya.
b) Aplikasi perbankan yang sesuai dengan akad ini ialah time deposit biasa.
Skema mudharabah mutlaqah dapat di gambarkan sebagai berikut.

1.titip dana 2.pemanfaatan dana

4.bagi hasil 3.pemanfaat dana

Dalam skema mudharabah muthlaqah terdapat beberapa hal yang sangan berbeda secara fundamental dalam hal nature of relationship between bank and custemer pada bank konvensional.
a. Penabung atau deposan syari’ah adalah investor dengan sepenuh-penuhnya makna investor. Dia bukanlah lender atau creditor bagi bagi bank seperti halnya di bank umum. Dengan demikian secara prinsip, penabung dan deposan entitled untuk risk dan return dari hasil usaha bank.
b. Bank memiliki dua fungsi: kepada deposan atau penabung, ia bertindak sebagai pengelola (mudharib), sedangkan kepada dunia usaha, ia berfungsi sebagai pemilik dana 9shahibul maal). Dengan demikian, baik ‘ke kiri maupun ke kanan”, bank harus sharing risk and return (lihat skema sebelumnya).
c. Dunia usaha berfungsi sebagai pengguna dan pengelola dana yang harus berbagi hasil dengan pemilik dana, yaitu bank. Dalam pengembangannya, nasabah pengguna dana dapat juga menjalin hubungan dengan bank dalam bentuk jual beli, sewa dan fee based services.

2. Mudharabah Muqayyadah
a) Shahubul maal memberikan batasan atas dana yang diinvestasikannya. Mudharib hanya bisa mengelola dana tersebut sesuai dengan batasan yang di berikan oleh shahibul maal. Misalnya hanya untuk jenis usaha tertentu saja, tempat tertentu, waktu tertentu, dan lain-lain.
b) Aplikasi perbankan yang sesuai dengan akad ini ialah special investment.
Special investment melalui mudharabah muqayyadah dapat di gambarkan dalam skema berikut ini.
Penghimpunan Dana
(Mudharabah Muqayyadah)

1.proyek tertentu
4.penyaluran dana
5. bagi hasil

Keterangan:
Dalam investasi dalam menggunakan konsep mudharabah muqayyadah pihak bank terikat dengan ketentuan-ketentuan yang telah di tetapkan oleh shahibul maal, misalnya:
i. Jenis investasi
ii. Waktu dan tempat
Produk special investment based on restricred mudaharabah ini snagat sesuai dengan special hight networth individuals atau company yang memiliki kecenderungan investasi khusus.
Di samping itu, special investment merupakan modus funding and financing, sekaligus yang sangat cocok pada saat-saat krisis dan sektor perbankan mengalami kerugian yang menyeluruh. Dengan special invenstment investor tertentu tidak perlu menanggung overhead bank yang terlalu besar karena seluruh dananya masuk ke proyek khusus dengan return dan cost yang di hitung khusus pula.

F. Aplikasi Dalam Perbankan
Mudharabah biasanya di terapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, mudharabah di terapkan pada:
a) Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, dan sebagainya; deposito berjangka;
b) Deposito spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya mudharabah saja atau ijarah saja.

Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah di terapkan untuk:
a) Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa.
b) Investasi khusus, di sebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah di tetapkan oleh shahibul maal.

G. Manfaat Mudharabah
1) Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
2) Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/ hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negatif spread.
3) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.
4) Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan karena keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
5) Prinsip bagi hasil dalam mudharabah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.

H. Resiko Mudharabah
1) Side streaming : nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang di sebut dalam kontrak.
2) Lalai dan kesalahan yang di sengaja.
3) Penyembunyian keuntungan oleh nasabah apabila nasabahnya tidak jujur.

Secara umum aplikasi perbankan mudharabah dapat di gambarkan dalam skema berikut ini.

BAB III
KESIMPULAN

Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang di tuangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi di tanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu di akibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Jenis- jenis mudharabah:
a. Mudharabah Muthlaqah
Adalah bentuk kerja sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Dalam pembahasan fiqh ulama salafus saleh sering kali di contohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul maal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.
b. Mudharabah Muqayyadah
Mudaharabah muqayyadah ini kebalikan dari mudharabah muthlaqah , si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu dan tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis duania usaha.

APLIKASI DALAM PERBANKAN
Mudharabah biasanya di terapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, mudharabah di terapkan pada:
a) Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, dan sebagainya; deposito berjangka;
b) Deposito spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya mudharabah saja atau ijarah saja.

Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah di terapkan untuk:
a) Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa.
b) Investasi khusus, di sebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah di tetapkan oleh shahibul maal.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Syafei, Rachmat. 2000. “Fikih Muamalah”. Bandung: Pusaka Setia
Syafi’i, Muhammad Antonia. 2001. “BANK SYARIAH Dari Teori ke Praktek”. Jakarta: Gema Insani Press. 

Sumber Online:
http://alislamu.com/muamalah/11-jual-beli/269-bab-mudharabah.html diunduh Tanggal 13 Nopember 2011, Jam 20.37 WIB.
https://nonkshe.wordpress.com/2010/12/09/pembiayaan-mudharabah-antara-fikih-dan-praktek-perbankan/ diunduh Tanggal 13 Nopember 2011, Jam 20.37 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar